Minggu, 10 November 2013

WUJUDUL HILAL TELAH USANG

Prof Dr Thomas Djamaluddin
 Ilmuan astronomi Indonesia ikut memberikan pemikiran soal perbedaan Idul Fitri kemarin. Uraian dari Profesor riset astronomi-astrofisika di Lembaga Penerbangan danAntariksa Nasional (Lapan) ini patut kita jadikan referensi.

Beberapa tahun terkhir, wajah Prof Dr Thomas Djamaluddin sering menghiasi layar televise kita di saat-saat menjelang hari raya. Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kemenag RI ini banyak dimintai keterangan soal penentuan awal bulan Hijriah secara ilmiah. Sebagai ilmuan astronomi, apa yang diungkapkan selalu up to date dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentang perbedaan Idul Fitri 1432 H lalu, berikut pendapatnya:

Boleh jadi banyak orang tersinggung dengan ungkapan lugas bahwa criteria hisab wujudul hilal itu using dan jadi pemecah belah umat. Tetapi saya tidak menemukan kata-kata yang lebih halus, tetapi tepat maknananya. Saya pun rela disebut "provokator" demi membangunkan kita semua bahwa "ada kerikil tajam" yang selalu mengganjal penyatuan umat.

Mengapa wujudul hilal disebut usang? Ya, sebagai produk sains, suatu teori bisa saja using karena digantikan oleh teori yang lebih baru, yang lebih canggih, dan lebih bermanfaat. Teori "geosentris" yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sekarang dianggap usang, karena sudah banyak teori yang menjelaskan gerak benda-benda langit, antara lain teoro gravitasi.

Ilmu hisab-rukyat (perhitungan dan pengamatan) dalam lingkup ilmu falak (terkait posisi dan gerak benda-benda langit) adalah ilmu multidisiplin yang digunakan untuk membantu pelaksanaan ibadah. Setidaknya ilmu hisab-rukyat gabungan syariah dan astronomi. Syariah membahas asfek dalilnya yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits, dan ijtihad ulama. Astronomi memformulasikan tafsiran dalil tersebut dalam rumusan matematis untuk digunakan dalam prakiraan waktu.

Rasullllah SAW menyebut dirinya "ummi" yang tidak pandai baca dan menghitung. Tetapi sesungguhnya pada zaman Rasul sudah diketahui bahwa rata-rata 1 bulan = 29,5 hari, sehingga ada hadits yang bermakna satu bulan kadang 29 dan kadang 30. Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman empiric pengamatan (rukyat) hilal.

Pada zaman sahabat dikembangkan system kalender dengan hisab (perhitungan astronomi) sederhana yang disebut hisab Urfi (periodik) yang jumlah hari tiap bulan berselang seling 30 dan 29 hari. Bulan ganjil 30 hari dan bulan genap 29 hari. Maka ramadlan mestinya selalu 30 hari, tetapi rukyat tetap dilaksanakan untuk mengoreksinya. Dengan perkembangan ilmu hisab/astronomi, hisab urfi mulai ditinggalkan, kecuali oleh kelompok-kelompok kecil yang tak tersentuh perkembangan ilmu hisab, seperti kelompok Naqsabandiyah di Sumatra Barat dan beberapa kelompok di wilayah lain (termasuk di tengah kota Bandung—walau tak terliput media massa).

Dari hisab 'Urfi berkembang hisab Taqribi (pendekatan dengan asumsi sederhana). Misalnya tinggi bulan hanya dihitung berdasarkan umurnya. Kalau umurnya 8 jam, maka tingginya 8:2 = 4 derajat, karena secara rata-rata bulan menjauh dari matahari 12 derajat per 24 jam. Termasuk kesaksian hilal dulu bukan berdasar pada pengukuran tinggi, tetapi hanya dihitung waktunya sejak cahaya "hilal" (bisa jadi bukan hilal) tampak sampai terbenamnya. Hisab Taqribi pun sudah mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok kecil, antara lain kelompok pengamat di Cakung yang dikenal menggunakan hisab taqribi sebagai pemandu rukyatnya.

Dari hisab Taqribi berkembang hisab hakiki (menghitung posisi bulan sebenarnya) dengan criteria sederhana wujudul hilal (asal bulan positif di atas ufuk). Prinsipnya pun sederhana, cukup menghitung saat bulan dan matahari terbenam. Bila bulan lebih lambat terbenam, maka saat itulah dianggap wujud. Sampai tahap ini hisab dan rukyat sering berbeda keputusannya. Hisab wujudul hilal sering lebih dahulu daripada rukyat, karena memang tidak memperhitungkan factor atmosfer. Masyarakat awam (setidaknya di Cirebon, tempat masa kecil saya tahun 1970-an) sedah maklum menyebut Muhammadiyah sering puasa atau lebaran duluan karena merekalah yang mengamalkan hisab wujudul hilal.

Mengapa kriteria wujul hilal sebagai lompatan pertama hisab hakiki? Dalam sains dikenal penyederhanaan dalam model perhitungan. Untuk menghitung secara hakiki posisi bulan dan matahari bukan perkara mudah pada tahun 1970-an. Ahli hisab harus menghitung secara manual dengan berlembar-lembar kertas dan kadang berhari-hari. Satu problem biasanya dihitung minimal oleh 2 orang. Kalau terjadi perbedaan, kedua orang itu harus saling mengoreksi. Tahun 1980-an kalkulator menjadi alat bantu utama. Kemudian tahun 1990-an computer semakin mempermudah perhitungan.
Lalu berkembang hisab hakiki dengan kriteria imkan rukyat (kemungkinan bisa dirukyat) yang memadukan hisab dan rukyat, sehingga antara kalender dan hasil hisab diupayakan sama. Itulah konsep penyatuan kalender Islam. Berdasarkan data rukyat di Indonesia sejak tahun 1960-an, ahli hisab di Indonesia pada awal 1990-an memformulasikan kriteria imkan rukyat: (1) ketinggian hilal minimum 2 derajat, (2) jarak bulan –matahari minimum 3 derajat, dan (3) umur hilal minimum 8 jam. Kriteria tersebut kemudian diterima di tingkat regional dalam forum MABIMS (Mentri-mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Ormas-ormas Islam dalam kelompok Temu Kerja Badan Hisab Rukyat menyepakati penggunaan kriteria tersebut dalam pembuatan kalender hijriyah di Indonesia, kecuali Muhammadiyah.
Wakil Muhammadiyah beralasan tinggi hilal 2 derajat tidak ilmiah. Mengapa tinggi hilal 2 derajat dianggap tidak ilmiah, tetapi tetap bertahan wujudul hilal yang artinya tinggi hilal minimum 0 derajat? Saya tidak tahu alas an penolakan yang sebenarnya. Memang hisab dengan kriteria imkan rukyat akan lebih rumit daripada hisab wujudul hilal. Factor atmosfer yang menghamburkan cahaya matahari diperhitungkan. Hilal yang sangat rendah dan sangat tipis tidak mungkin mengalahkan cahaya senja di ufuk dan cahaya di sekitar matahari. Itulah sebab perlu ada batas minimum ketinggian bulan dan jarak bulan-matahari.
Kriteria imkan rukyat terus berkembang. IICP (International Islamic Calender Program) di Malaysia berupaya mengembankan kriteria astronomis yang kini dikenal dengan kriteria Ilyas. LAPAN pun berdasarkan data rukyat di Indonesia 1962-1996 mengembangkan revisi kriteria imkan rukyat MABIMS, yang dikenal sebagai kriteria LAPAN (tahun 2000). Odeh dengan ICOP (International Crescent Observation Program) dengan menggunakan data internasional yang lebih banyak mengembangkan kriteria yang kini dikenal kriteria Odeh. Kelompok astronom amatir RHI (Rukyatul HilalIndonesia) yang mengkompilasi data rukyat di Indonesia dan Australia juga menyusun kriteria imkan rukyat RHI. LAPAN (2010) juga mengusulkan baru berdasarkan data rukyat dan internasional yang diberi nama Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia.
Kriteria imkan rukyat yang inilah yang dijadikan dasar penyatuan kalender Hijriyah. Dengan kalender berdasarkan hisab imkan rukyat, hasil hisab dalam bentuk kalender diharapkan akan sama dengan hasil hisab. Kalau masih terjadi perbedaan, penyelesainnya dalam forum siding itsbat. Lalu yang berbeda dengan
Criteria tersebut nanti bisa dijadikan dasar untuk merevisi criteria imkan rukyat. Memang begitulah kriteria imkan rukyat. Dinamis dan bisa terus disempurnakan. Kuncinya, criteria tersebut harus disepakati oleh semua pemangku kepentingan, terutama Ormas-ormas Islam, MUI, dan Pemerintah.
Dari kronologis perkembangan pemikiran hisab seperti itu terlihat posisi hisab wujudul hilal sudah usang dan harus diperbaharui. Hisab wujudul hilal pun bisa jadi pemecah belah umat, karena hilal dengan ketinggian yang sangat rendah tidak mungkin teramati. Keputusan pengamal hisab wujdul hilal pasti akan berbeda dengan keputusan pengamal rukyat. Kebanyakan orang akan merasakan ketidaknyamanan. Perdebatan akan selalu muncul, yang tidak mungkin diredam sekedar imbauan "saling menghormati.
Lebih dari sekadar masalah ketidaknyamanan di masyarakat dan kenyataan umat terpecah dalam beribadah massal (Ramadlan dan hari raya), dengan adanya perbedaan itu kita tidak akan pernah punya kalender hijriyah yang tunggal dan mapan. Dengan perbedaan criteria yang diterapkan oleh Ormas-ormas Islam, kalender Hijriyah dikerdilkan hanya menjadi kalender Ormas. Kalender Muhammadiyah akan menjadi kalender yang berbeda sendiri dari kalender ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia. Walau kalender Ummul Quro Saudi Arabia sama masih menggunakan criteria wujudul hilal, belum tentu itu sama dengan wujudul hilal di Indonesia.
Kalau ukhuwah yang dikedepankan, "mengalah demi umat" yang dilakukan Muhammadiyah sangat besar dampaknya. Dengan meninggalkan criteria wuhjudul hilal yang usang, menuju criteria yang lebih baik, criteria imkan rukyat. Toh, criteria imkan rukyat pun adalah criteria hisab, namun bisa diterapkan untuk mengkomfirmasi rukyat. Dengan criteria imkan rukyat, kita pun bisa menghisab kalender sekian puluh tahun atau sekian ratus tahun ke depan, selama kriterianya tidak diubah. criteria imkan rukyat juga menghilangkan perdebatan soal perbedaan hisab dan rukyat, karena kedua metode itu menjadi setara dan saling mengkonfirmasi. Wallahu  a'lam.   

Hasil yah...hilal-nya ?!

BULAN DAN KALENDER ISLAM

Senin, 12 Desember 2011

BULAN DAN KALENDER ISLAM


(Catatan untuk Agus Mustofa)

Dr. KH. Abd. Salam Nawawi

Ketua lajnah Falakiyah NU Jatim

Dalam Tulisan ini, kata bulan (huruf biasa) digunakan sebagai padanan syahr (Arab) atau month (Inggris), sedangkan BULAN (huruf capital) digunakan sebagai padanan qamar (Arab) atau moon (Inggris)
username : apakayank


Hantaran

Harian Jawa Pos (Sabtu, 3 September 2011) membuat tulisan Agus Mustofa bertajuk "Bulan Tak Pernah Bohong". Melihat banyak orang masih "pusing" memahami perbedaan lebaran, Agus Mustofa terpanggil untuk menawarkan kunci jawaban.
"Sesungguhnya BULAN tidak akan pernah berbohong. Sebab dia adalah fakta alias realitas. Yang bisa berbohong itu kan manusia. Karena itu, pertanyaan seputar ketinggian BULAN dan sekarang tanggal berapa syawal sebenarnya bisa anda jawab sendiri dengan mudah." Demikian tulis Agus Mustofa.

Caranya, kata Agus Mustofa, sangat sederhana. Pertama, dengan melihat BULAN di langit telah berapa tinggi. Kedua, kalau masih ragu karena sekarang masih berbentuk sabit, dengan mudahnya anda bisa melihat BULAN Purnama. Itulah tanggal 15 Syawal. Kemudian hitunglah maju ke arah awal bulan. Maka Anda akan tahu kapankah tanggal 1 Syawal yang sebenarnya. BULAN, tidak bisa berbohong, bukan…?

Agus Mustofa membangun persepsi mengenai kelompok-kelompok yang berbeda hari lebaran tersebut sebagai berikut. "mereka semua tahu kok bahwa akhir Ramadlan (ijtimak alias posisi segaris antara BULAN-BUMI-MATAHARI) itu jatuh pada 29 Agustus 2011, sekitar jam 11."

Sebagian yang lain, Agus Mustofa menegaskan bahwa "usia bulan Ramadlan maksimal memang hanya 29,5 hari.

Dari pernyataan-pernyataan di atas saya memahami tiga konsep dasar yang menjadi pijakan Agus Mustofa. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari –dan berakhir pada- saat ijtimak. Kedua, bahwa ketika terjadi purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari.

Realitas BULAN

Agus Mustofa meracik resep jawaban di atas berdasarkan realitas BULAN dari perspektif astronomi. Supaya jelas duduk perkaranya, saya mersa perlu sedikit mengartikulasikan realitas tersebut dengan ringkas. BULAN adalah benda langit yang gelap. Jika ia tampak bercahaya, maka cahayanya itu adalah sinar MATAHARI yang dipantulkan perukaannya yang menghadap ke BUMI. Karena jarak MATAHARI-BUMI dan BULAN-MATAHARI amat jauh (+150 juta Kilometer), maka permukaan BUMI dan BULAN yang tersinari MATAHARI hanyalah seperduanya.

BULAN, BUMI dan MATAHARI adalah benda-benda langit yang bergerak. BULAN mengelilingi BUMI, BUMI mengelilingi MATAHARI, dan MATAHARI mengelilingi pusat galaksi. Konfigurasi gerak ketiganya membuat posisi BULAN terhadap BUMI  dan MATAHARI selalu berubah. Akibatnya seperdua permukaan BULAN yang tersinari MATAHARI terus bergeser dari bagian yang membelakangi BUMI ke bagian lain yang menghadap ke BUMI, dan sebaliknya.
BULAN bergerak mengelilingi BUMI (gerak revolusi) kea rah timur, satu putaran rata-rata 27 hari 7 jam 43 menit 11,51 detik (27,32166133 hari). Masa ini disebut Satu Bulan Sideris. Berarti perhari, BULAN bergerak ke timur rata-rata 13o 10' 34,89". BULAN juga bergerak pada sumbunya (gerak rotasi) dalam waktu yang sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk satu putaran gerak revolusi. Karena itu wajah BULAN yang menghadap ke BUMI adalah sisi permukaannya yang selalu sama.

BUMI berputar pada sumbunya (gerak rotasi) ke arah timur, satu kali dalam + 24 jam. Kerena itu sinar MATAHARI yang mengenai permukaan BUMI terus bergeser ke barat sehingga di BUMI terjadi siklus malam – siang. BUMI juga bergerak mengelilingi MATAHARI (gerak revolusi) ke arah timur pada suatu lingkaran yang disebut ekliptika. BUMI juga bergerak mengelilingi MATAHARI (gerak revolusi) ke arah timur pada suatu lingkaran yang disebut Ekliptika. Satu putaran berlangsung dalam 365 hari 5 jam 45 menit 46 detik (365,2422407 hari). Berarti dalam satu hari BUMI  bergerak sejauh 0° 59' 8,33"

Akibat gerak revolusi BUMI ini, MATAHARI jadi terlihat bergerak-semu di 
Ekliptika ke arah timur secepat gerak revolusi BUMI (0° 59' 8,33" per hari). Karena arah Ekliptika memotong Khatulistiwa (Equator) sebesar 23° 27’ maka MATAHARI kadang terlihat di Khatulistiwa, kadang di sudut utaranya, dan kadang di selatannya.

Di pihak lain arah lintasan BULAN memotong Ekliptika dengan sudut
bervariasi antara 4° 57’  sampai 5° 20’ sehingga BULAN kadang terlihat berhimpit dengan MATAHARI (seperti ketika terjadi gerhana MATAHARI), kadang di utaranya, dan kadang di selatannya.

Jika BULAN bergerak ke timur sejauh 13° 10' 34,89" per hari, sedangkan MATAHARI hanya 0° 59' 8,33", maka BULAN bergerak ke timur  12° 11' 26,56" lebih cepat daripada MATAHARI. Perbedaan kecepatan ini meniscayakan terjadinya peristiwa ijtimak (konjungsi) dan istiqbal (oposisi).

Ijtimak dan istiqbal adalah konsep-konsep astronomik berkenaan dengan posisi BULAN dan MATAHARI pada Garis Bujur Astronomis (GBA). GBA sendiri ialah garis (busur) imajinatif yang menghubungkan kedua kutub Ekliptika. Kala BULAN dan MATAHARI berada pada GBA yang sama (bersegaris), konsep astronomi menyatakan keduanya sedang dalam posisi ijtimak. Adapun kala berada pada GBA yang berlawanan (terpisah jarak 180º), keduanya dikatakan sedang dalam posisi istiqbal.

Jika BULAN berijtimak dengan MATAHARI pada suatu GBA, maka untuk kembali ke GBA itu lagi BULAN membutuhkan waktu Satu Bulan Sideris (27 hari lebih). Namun kala BULAN telah kembali ke GBA itu, MATAHARI sudah bergeser ke timur sejauh ± 27º (
0° 59' 8,33" X 27,32166133 = 26° 55' 46,27"). Karena itu, untuk berijtimak kembali,  lebih banyak daripada MATAHARI. Waktu°BULAN harus menempuh 360 rata-rata yang dibutuhkan BULAN untuk itu adalah (360 : 12º 11’ 26,56”) x 1 hari = 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,53068092). Masa ini dalam konsep astronomi disebut Satu Bulan Sinodik atau Satu Bulan Ijtimak.

Tapi ini hanyalah hitungan rata-rata. Panjang Satu Bulan Ijtimak yang sebenarnya bervariasi antara 29 hari plus 6 jam lebih sampai 29 hari plus 19 jam lebih. Karena itu ijtimak dan istiqbal selalu berubah momen terjadinya, adakalanya pada siang hari dan adakalanya pada malam hari.

Di seputar momen ijtimak, BULAN menghilang. BULAN tidak tampak dari BUMI karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaannya yang membelakangi BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen ijtimak ini dalam astronomi disebut New Moon (Qamar Jadid, BULAN Mati), bukan New Month (Syahr Jadid, Sasi Anyar).

Sebaliknya pada momen istiqbal, BULAN tampak utuh/penuh. Itu terjadi karena sinar MATAHARI mengenai semua/bagian terbesar permukaan BULAN yang menghadap ke BUMI. Fenomena penampakan BULAN pada momen istiqbal ini dalam astronomi disebut Full Moon (Badr, Purnama).

Setelah menghilang pada seputar ijtimak, BULAN kembali akan menampakkan diri berseiring dengan perubahan posisinya terhadap BUMI dan MATAHARI. Astronomi membagi penampakan BULAN menjadi beberapa fase. Dimulai dari fase New Crescents (Hilal-Hilal Muda) selama beberapa hari dengan ciri penampakan berbentuk lengkung. Kemudian fase First Quarter (Tarbi’ Awwal, Seperempat Pertama) ketika penampakannya mencapai separuh lingkaran. Lalu fase First Gibos selama beberapa hari dengan ciri penampakan bebentuk cembung. Saat mencapai ukuran terbesar, penampakan BULAN dikatakan berada pada fase Full Moon (Badr, Purnama). Sesudah itu, penampakan BULAN memasuki fase-fase Last Gibos, Last Quarter (Tarbi’ Tsani, Seperempat Kedua), Old Crescents (Hilal-Hilal Tua), lalu menghilang kembali.

Perubahan posisi dan penampakan BULAN seperti digambarkan di atas berlangsung teratur dan eksak sesuai dengan rekayasa husban (perhitungan) Penciptanya, yaitu Allah SWT. Karena itu benarlah adanya, BULAN memang tak akan pernah berbohong.




Kalender Islam

Dalam surat Yunus ayat 5, Allah SWT menegaskan bahwa realitas BULAN dengan perubahan posisi dan penampakannya itu dimaksudkanNya agar manusia punya acuan untuk menyusun kalender (takwim). Sebagai realitas, tentu saja ia netral dan independen. Dalam sejarah peradaban manusia, sistem-sistem kalender yang mengacu pada realitas BULAN penyusunannya selalu bertolak dari perspektif dan kriteria tertentu.

Contohnya kalender Cina. Siklus bulan (month) dalam kalender ini disusun berdasarkan realitas BULAN dengan kriteria bahwa awal bulan dimulai dari hari terjadinya ijtimak (H0). Juga kalender Saka Bali, yang siklus bulannya disusun berdasarkan realitas BULAN juga. Dalam kalender Saka Bali hitungan awal bulan dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1).

Untuk siklus tahun (year), kalender Cina dan Saka Bali sama mengacu pada realitas MATAHARI (solar). Dengan dual system seperti ini, tahun-tahun tertentu dalam kedua kalender tersebut ada yang terdiri atas 13 bulan.

Penyusunan kalender Islam juga mengacu pada realitas BULAN, baik untuk siklus bulan (syahr) maupun tahun (sanah). Pola penyusunannya mengacu pada konsep-konsep waktu yang dibakukan berdasarkan doktrin kalender Islam sebagai berikut.

Hari (yaum, day) adalah satuan masa yang terdiri atas malam dan siang. Siklusnya dimulai dari —dan berakhir pada— saat terbenam MATAHARI (al-Isra’ 12). Bulan (syahr, month) ialah satuan masa yang terdiri atas 29 atau 30 hari. Awal dan akhir siklusnya ditandai oleh kemunculan hilal termuda sesudah terbenam MATAHARI paska ijtimak (al-Baqarah 189, hadis Nabi SAW). Tahun (sanah, year) ialah satuan masa yang terdiri atas dua belas bulan (al-Taubah 36).

Implementasinya, kalau ijtimak terjadi dinihari sehingga setelah terbenam MATAHARI pada petang harinya terjadi kemunculan hilal, maka awal bulan Islam dimulai dari hari pertama paska ijtimak (H+1). Tetapi kalau saat ijtimak relatif dekat dengan terbenam MATAHARI sehingga tidak terjadi kemunculan hilal, maka umur bulan berjalan diistikmalkan (digenapkan) sehingga awal bulan baru dimulai pada hari kedua paska ijtimak (H+2).

Coba kita ingat realitas BULAN di akhir Ramadan lalu. Saat ijtimak ketika itu terjadi pada Senin, 29 Agustus 2011 sekitar pukul 11. Karena jarak antara ijtimak dan terbenam MATAHARI relatif pendek (hanya 7,5 jam) sehingga pada petang hari itu tidak terjadi kemunculan hilal karena ketinggian BULAN (qamar) sangat rendah (kurang dari 2º), maka Isbat pemerintah menyatakan awal Syawal dimulai dari Rabu (H+2).

Jadi, walau benar bahwa kalender Islam itu disusun berdasarkan realitas BULAN, namun Bulan Takwim atau Bulan Kalender Islam tidak sama (dan tidak dapat disamakan) dengan Bulan Sideris dan/atau Bulan Ijtimak/Sinodik dalam konsep astronomi.

Khatha’ Jaly

Kunci jawaban yang ditawarkan Agus Mustofa di muka tadi memang terasa logis plus gampang dicerna. Sayang, kunci jawaban itu dibuat hanya berdasarkan konsep-konsep astronomi tentang realitas BULAN (sunnatullah). Padahal untuk penyusunan kalender, Islam menggariskan seperangkat panduan yang mesti dipedomani. Karena melakukan jumping, Agus Mustofa jatuh dalam slip of the concept. Sadar atau tidak, dengan kunci jawaban seperti yang ditawarkan itu Agus Mustofa mengajari umat Islam menyamakan ”bulan takwim/kalender” dengan ”bulan ijtimak/sinodik”. Jadinya kalau diikuti, ujungnya akan seperti memakai celana salah ukuran, yakni cingkrang.

Ada baiknya kita baca kembali konsep-konsep yang dipijak Agus Mustofa di atas. Pertama, bahwa siklus bulan dalam kalender Islam berawal dari —dan berakhir pada— saat Ijtimak. Konsep ini jelas murni astronomik. Sebab, panduan Islam tentang pergantian siklus “bulan kalender” mengaitkannya dengan fenomena hilal, bukan dengan fenomena ijtimak.

Konsep kedua, bahwa ketika terjadi Purnama, umur bulan dihitung masuk tanggal 15. Tesis Agus Mustofa ini BENAR andai angka 15 itu ia nisbatkan pada usia Bulan Ijtimak yang awal harinya dimulai dari saat ijtimak itu sendiri. Tapi tesis itu jadi SALAH karena Agus Mustofa menisbatkannya pada umur Bulan Takwim/Kalender. Oleh karena dalam kalender Islam awal hari dimulai dari terbenam MATAHARI paska ijtimak, maka Purnama bisa jatuh pada tanggal 14, bahkan bisa juga pada bagian akhir tanggal 13. Karena itu puasa sunah pada Ayyam al-Biidh dilakukan Nabi SAW pada tanggal-tanggal 13, 14. dan 15.

Ilustrasi konkritnya adalah kasus Ramadan 1432 H. yang “disepakati” awal bulannya jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Pada malam Senin, di saat ghurub MATAHARI, usia Bulan Kalender = 0 jam, tapi Bulan Ijtimak sudah 17 jam karena ijtimak terjadi pada kira-kira pukul 1 Ahad dinihari. Dengan beda start seperti ini, maka pada 14 Agustus 2011 pukul 1 Ahad dinihari, usia Bulan Ijtimak mulai memasuki hitungan hari ke-15, sedangkan usia Bulan Kalender masih tanggal 14.

Realitas BULAN kala itu menunjukkan bahwa saat Purnama (istiqbal) terjadi pada sekitar pukul 2 Ahad dinihari itu juga. Nah, fakta ini membuktikan bahwa Purnama itu benar terjadi pada hari ke-15 Bulan Ijtimak, tetapi dalam konteks Bulan Kalender, Purnama terjadi pada tanggal 14. Andai malam itu secara serampangan kita hitung sebagai tanggal 15 sesuai petunjuk Agus Mustofa, lalu kita hitung maju ke awal bulan, maka kita akan memperoleh jawaban pasti bahwa 1 Ramadan jatuh pada Ahad, 31 Juli 2011. Nah, barabe, kan?

Konsep ketiga, bahwa usia bulan dalam kalender Islam maksimal hanya 29,5 hari. Konsep ini kian mempertegas khatha’ jaly (kesalahan yang nyata) dalam ”kunci jawaban” Agus Mustofa itu. Bagaimana tidak, sejak 1400 tahun yang silam Nabi SAW sudah menegaskan bahwa umur bulan dalam takwim/kalender Islam itu 29 hari atau 30 hari. Tidak ada 29 hari koma sekian. Sekali lagi, angka 29,5 hari yang disebut Agus Mustofa itu tidak lain adalah umur Bulan Ijtimak/Sinodik dalam hitungan rata-rata.
Akar Persoalan
Tidak seperti yang dipersepsi Agus Mustofa, kelompok-kelompok mainstream yang berbeda Lebaran itu sesungguhnya tidak ada yang berpendapat bahwa Ramadan telah berakhir pada saat ijtimak. Pijakan mereka, sesuai dengan petunjuk dinullah, Ramadan berakhir apabila paska terbenam MATAHARI di penghujung tanggal 29 Ramadan itu terjadi kemunculan hilal. Kalau itu tidak terjadi, maka Ramadan digenap/istikmalkan 30 hari. Realitas pada saat itu menunjukkan bahwa BULAN berada di atas ufuk dengan ketinggian rendah (kurang dari 2º). Apakah dengan realitas BULAN seperti itu dapat disimpulkan bahwa Hilal sudah muncul?

Dalam belukar pengalaman selama ratusan tahun para astronom mengobservasi BULAN dengan teleskop tidak pernah ada satu pun referensi ilmiah yang menyatakan bahwa dari permukaan BULAN dengan umur dan posisi seperti di atas sudah lahir crescent moon (sabit BULAN).

Mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran memahami Hilal —yang pada zaman Nabi SAW diburu dengan rukyat— sebagai visible crescent moon, yakni cahaya yang terlihat berbentuk lengkung tipis pada bibir bawah (lower limb) piringan BULAN (qamar). Karena itu, meskipun pada Senin petang itu BULAN alias QAMAR sudah wujud di atas ufuk, tetapi karena permukaannya masih gelap, mereka simpulkan kemunculan Hilal tidak akan terjadi. Andai pun ada yang melapor bahwa Hilal dapat dirukyat, laporan itu mereka posisikan sebagai natijah dari kekeliruan. Realitas BULAN pada Senin petang itu bagi mereka adalah Wujudl Qamar, bukan Wujudul Hilal. Karena itu, mereka memutuskan Ramadan diistikmalkan dan Lebaran Fitri jatuh pada hari Rabu.

Tetapi Muhammadiyah membaca realitas BULAN pada Senin petang itu sebagai Wujudul Hilal. Sebab, Hilal menurut Muhammadiyah tidak lain adalah BULAN (qamar) itu sendiri. Jadi, kalau piringan BULAN berada di atas ufuk pada saat MATAHARI terbenam, seberapa pun ketinggiannya dan biarpun permukaannya benar-benar gelap, Hilal mereka simpulkan sudah wujud. Jadi Wujudul Hilal menurut Muhammadiyah adalah moonset after sunset (BULAN terbenam sesudah MATAHARI terbenam). Dengan cara berpikir seperti ini Muhammadiyah tidak mengistikmalkan Ramadan dan memilih berlebaran pada hari Selasa.

Inilah akar persoalannya. Selagi konsep Hilal kelompok Muhammadiyah masih berbeda dengan kelompok yang lainnya, maka kalau BULAN berada di atas ufuk tetapi posisinya belum memenuhi batas ambang visibilitas (imkan rukyat), selalu akan terjadi perbedaan hari Lebaran.

Sebagai penutup, al-Qur’an menyebut kata qamar sebanyak 26 kali seluruhnya dengan kata berbentuk tunggal (mufrad, singular). Sedangkan Hilal, oleh al-Qur’an hanya disebut satu kali tetapi dengan kata berbentuk jamak (plural): al-Ahillah. Di samping itu pada zaman Rasul, untuk penentuan awal bulan Islam, beliau keluarkan instruksi rukyat al-Hilal, bukan rukyat al-Qamar. Fakta penggunaan kata Hilal dan Qamar dalam al-Qur’an dan Hadis ini cukup memberi indikasi bahwa realitas Hilal memang tidak identik dengan realitas Qamar seperti yang dipahami para astronom dan mayoritas kelompok yang berbeda Lebaran tadi. Demikianlah, wallahu a’lam.
Ditukil dari Majalah AULA edisi No. 10 Tahun XXXIII Oktober 2011